manajemen kurikulum

>> Rabu, 18 Maret 2009

MANAJEMEN KURIKULUM ATAU MANAJEMEN SEKOLAH?
Penulis : Wendie Razif Soetikno, S.Si., MDM
Salah kaprah atau Ketidak-pedulian?
Dalam dua tulisan terdahulu : YANG TERLEWATKAN DARI KTSP dan SEHABIS KTSP LALU APA? SKS! penulis telah memaparkan secara teknis upaya-upaya untuk memahami grand design pendidikan kita yang menyatu dengan langkah-langkah untuk mencapai kriteria Sekolah Mandiri. Dalam tulisan itu penulis juga mensyaratkan penerapan KTSP secara benar (melalui penyusunan Dokumen I dan Dokumen II seperti yang termaktub dalam Permen No. 22/2006, Permen No. 23/2006 dan Permen No. 24/2006 bulan April 2006) serta perlunya pembenahan manajemen sekolah (melalui Permen No. 19/2007 bulan Mei 2007 tentang MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). Namun amat disayangkan bahwa kita hanya mengikutinya sepotong-sepotong sehingga sekolah-sekolah kita terjebak dalam pola kebiasaan lama, tak ada upaya menuju perubahan, terobosan dan revitalisasi seperti yang telah penulis uraikan dalam dua tulisan terdahulu. Mengapa ini semua terjadi? Karena kita selalu bergerak dalam tataran wacana sedangkan rangkaian Peraturan Mendiknas (Permen) itu membutuhkan langkah-langkah teknis implementasi konkrit di lapangan. Meskipun penulis sudah menengarahi KTSP sebagai revolusi dalam dunia pendidikan kita, tapi sekolah-sekolah Katolik tetap melihatnya secara adem ayem saja. Apa sebabnya? Filosofi perubahan ini tak tertangkap, yaitu perlunya transparansi dan akuntabilitas dalam dunia pendidikan kita dapat diaudit secara jelas dan terukur. Kompetensi guru dan siswa harus dapat diaudit, begitu pula kinerja sekolah dan tenaga kependidikan (kepala sekolah, wakil kepala sekolah dan guru) harus dapat diaudit secara jelas dan terukur.

Kesalah-pahaman dan kesalah-kaprahan
Bila sekolah-sekolah tidak menyusun KTSP menurut 15 langkah standar minimal yang disyaratkan oleh para pakar disain kurikulum (Bloom, Peter W. Airisian, Mills dll) maka benang merah antara KTSP dan MBS tak akan terlihat. Rumusan Visi dan Misi sekolah hanya akan menjadi penghias dinding ruang Kepala Sekolah saja sedangkan para guru bekerja menurut polanya sendiri-sendiri. Disiplin makin merosot dan pendidikan budi pekerti tetap terabaikan (orang hanya berbicara tentang pendidikan nilai yang diseminarkan dan tak membumi). Seluruh stakeholders akan terjebak dalam kesalah-pahaman yang fatal yaitu menganggap KTSP sebagai urusan administrasi (manajemen kurikulum) guru semata, bukan urusan pembenahan manajemen sekolah. Transparansi dan akuntabilitas hanya dipahami sebagai penilaian hard competency (cepatnya membagi hasil ulangan/test kognitif saja) tanpa melihat potensi soft competency (psikomotorik dan afektif) yang terpendam dalam diri siswa. Akibatnya akan muncul kesalah-kaprahan massal yaitu menganggap pengadopsian tata cara terapan manajemen kurikulum sebagai suatu terobosan baru seperti :
penggunaan SMS (sistim manajemen sekolah) yang tak lebih adalah pelaporan nilai ulangan/test kognitif secara on-line, atau
SAS (sistim administrasi sekolah) yang tak lebih adalah pelaporan silabus dan hasil pembelajaran dalam suatu bank data yang tersentralisir dan dapat diakses publik (namun proses pemelajaran (yang sangat berbeda dengan proses pembelajaran) yang sangat penting dalam penyusunan KTSP malah tak terakomodasi dalam SAS), atau
SIMS (sistim informasi manajemen sekolah) dan SIMDIKDU (sistim informasi pendidikan terpadu) yang tak lebih dari penyatuan data informasi siswa, kurikulum dan rapor serta data kelengkapan infrastruktur sekolah yang biasanya tersimpan dalam bank data sekolah di server yayasan menjadi terbuka dan dapat diakses publik (namun hal ini tidak menjawab pertanyaan bagaimana cara mengaudit kinerja sekolah dan kinerja semua tenaga kependidikan (kepala sekolah/wakil kepala sekolah dan guru) melalui SIMS/SIMDIKDU.


Kurikulum Pendidikan yang Ideal

Oleh : Zulkifli Mile S.Pd, M.Pd
(Guru SMA Negeri 2 Luwuk)
DALAM pencapaian tujuan pendidikan nasional yang sesuai dengan Undang-undang sisdiknas haruslah memiliki produk kurikulum yang cocok dalam pengembangan proses belajar mengajar. Jika hal ini tidak berjalan sesuai dengan karasteristik kebutuhan proses belajar mengajar maka tujuan untuk peningkatan mutu pendidikan akan mengalami kegagalan. Kurikulum sebagai rancangan pendidikan mempunyai kedudukan yang cukup sentral dalam keseluruhan kegiatan pembelajaran, menentukan proses pelaksanaan dan hasil pendidikan.
Mengingat pentingnya peran kurikulum dalam pendidikan dan dalam perkembangan pendidikan peserta didik, maka pengembangan kurikulum tidak bisa dikerjakan asal jadi. Perancangan program pendidikan harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan diorientasikan pada pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedang dan akan terjadi. Oleh karena itu, diharapkan kurikulum sekarang harus dirancang oleh guru bersama masyarakat pemakai.
Untuk bisa merancang kurikulum yang baik dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat saat ini, seorang guru sangatlah memiliki peranan yang amat sentral. Oleh karena itu, kompotensi manajemen pengembangan kurikulum perlu dimiliki oleh setiap guru disamping kompotensi teori belajar. Saat ini pemerintah selaku penanggung jawab utama bidang pendidikan sering mengeluarkan kebijakan pergantian kurikulum bahkan belakangan ini terjadi dua kali pergantian kurikulum yakni dari KBK menjadi KTSP yang notabenenya sama saja. Dunia pendidikan disibukkan dengan berbagai kegiatan ilmiah, pelatihan-pelatihan dan lain sebagainya dalam rangka sosialisasi kurikulum. Namun, kegiatan itu tidak membawa pencerahan bagi guru, sebaliknya justru membawa frustasi karana membingungkan.
Model berbagai kegiatan ilmiah selama ini hanya mendengarkan orang berceramah, tanpa action plan yang serius sehingga dapat dikembangkan dan diimplementasikan oleh guru setelah sampai disekolah. Bahkan, mungkin sipenceramah itu hanya mampu secara teoritik tapi miskin inplementasi dan pengalaman, sehingga action plan yang dilakukan hanya untuk menghabiskan waktu kegiatan. Model kegiatan semacam ini tidak pernah dievaluasi, yaitu senacam penagihan dalam bentuk inplementasi dari peserta kegiatan. Sebaliknya, guru yang mengikuti kegiatan ilmiah tanpa membekali dirinya dengan tema kegiatan yang akan diikuti, sehingga dalam kegiatan mereka asyik mencatat apa yang diucapkan oleh pembicara.. Padahal seharusnya, penyelenggara kegiatan jauh-jauh hari mestinya dapat menginformasikan segala sesuatu yang menjadi persyaratan untuk mengikuti kegiatan tersebut. Hal ini tidak pernah dilakukan.
Akumulasi dari semua kegiatan tersebut dapat diprediksikan tidak ada perubahan kineja yang dapat membawa kearah peningkatan kompotensi guru dan mutu pendidikan
Pengalaman menunjukkan, dengan berbagai pergantian kurikulum toh tidak ada perubahan dan tampaknya tidak dijadikan bahan refleksi oleh birokrat pendidikan maupun lembega pendidika tenaga kependidikan.
Sudah terbukti berkali-kali bahwa pergantian kurikulum tidak dapat membawa perubahan dalam peningkatan mutu pendidikan. Berbagai kegiatan ilmiah, baik penataran guru,seminar dan pelatihan-pelatihan kurang memberikan hasil yang memuaskan. Kiranya sudah waktunya dipikirkan bahwa memberi bekal manajemen pengembangan kurikulum, teori belajar dan dasar-dasar manajemen mutu terpadu bagi guru dan calon guru sangat diperlukan. Disinilah letak pentingnaya LPTK yang mendidik calom guru dan yang akan menguji kompotensi guru.
Guru saat ini dalam memandang kurikulum terlalu sempit sebab masih banyak guru terlalu berpedoman pada silabus yang telah ditentukan, bukannya proses pembelajaran demi penguasaan kompotensi yang dibutuhkan oleh peserta didik, bahkan orientasi pembelajaran lebih didominasi oleh guru. Sehingga yang terjadi adalah pencapaian target penyelesaian dengan domain kognitif semata. Cara pandang ini akan cocok apabila tujuan akhirnya adalah memperoleh nilai baik dalam ujian nasional agar lulus. Perlu diingat bahwa seorang siswa bukan hanya sekedar domain kognitif yang ditingkatkan tetapi aspek sikap, psikomornya harus pula dikembangkan secara paralel.
Jika seorang guru memandang kurikulum dalam arti yang luas, akan menuntut seorang guru untuk mampu berkreatifitas, mengaitkan perilakunya didepan kelas dengan konteks pembelajaran yang menjadi pengalaman dan dibutuhkan oleh peserta didik, sehingga orientasi pembelajaran berpusat pada peserta didik. Sejauh ini terlalau banyak guru memandang kurikulum secara sempit sehingga tidak heran capaian kurikulum yang diterapkan tidak mencapai target atau tujuan yang dikendaki bahkan akan mengalami kegagalan.
Balajar dari pengalaman, lalu timbul pertanyaan yang perlu kita kembangkan secara bersama, antara lain ; Materi kuliah apakah yang diberikan oleh LPTK untuk mata kuliah kurikulum pendidikan dan teori balajar? Apakan dengan adanya kebebasan guru untuk berkreatifitas dalam pengembangan kurikulum pembelajarannnya akan membawa kearah peningkatan mutu pendidikan ? bagaimana dengan budaya kerja guru-guru kita ? dan apakah sertifikasi juga mengarah pada pembedahan wawasan guru tentang cara pandang kurikulum ? beberapa pertanyaan ini menuntut seorang guru/calon guru untuk memiliki manajemen pengembangan kurikulum yang baik.
Dalam manajemen pengembangan kurikulum ada beberapa problem yang akan didapati yang berkaitan dengan standar isi dan standar kurikulum; (1) bagaimanakah membatasi ruang lingkup atau keluasan materi; (2) bagaimanakah mangkaitkan relevansi materi dengan kompotensi yang dibutuhkan; (3) Bagaimana memilih materi agar ada keseimbangan untuk peserta didik maju dan yang lamban belajar; (4) Bagaimanakah mengintegrasikan materi yang satu dengan materi lainnya sehingga tidak terjadi duplikasi; (5) Bagaimanakah mengurutkan materi dan kompotensi yang diperlukan; (6) bagaimanakah agar materi atau kompotensi berkesinambungan dan berjenjang; (7)
Bagaimanakah merealisasikan artikulasi materi atau kompotensi secara menyeluruh; (8) Bagaimanakah materi atau kompotensi yang diberikan dapat menjangkau masa depan/memiliki daya guna bagi kehidupan peserta didik.
Kedelapan persoalan ini harus mampu dianalisis oleh seorang guru sehingga dapat menciptakan serta mengembangkan kurikulum yang baik Ini tentunya diperlukan verivikasi secara terus-menerus agar materi yang dikembangkan selalu up to date untuk kebutuhan pasar. Jagi guru dituntut mampu melakukan paln, do, check, action (PDCA).
Jadi sudah tidak relevan lagi jika kegiatan ilmiah hanya mendengarkan orang ceramah saja, sebaliknya action plan yang dapat menjawab terhadap pemahaman kurikulum. Dengan demikian, gurulah yang menjadi pengembang kurikulum. Sebaliknya BSNP tidak menjadi line staff, cukup membuat standar kompetensi minimal yang harus dikuasai oleh peserta didik dalam ujian nasinal.

Bagaimana Mahasiswa Ilmu Komputer Belajar: Mengkritisi Kurikulum dan Gaya Pendidikan Kita
Sepulang dari study di Jepang tahun 2004, saya banyak mengajar di beberapa Universitas di Jakarta, terutama di fakultas atau jurusan yang berhubungan dengan ilmu komputer dan teknik informatika. Saya mengajar mata kuliah yang memang saya kuasai, dan terkait langsung dengan tema penelitian saya. Diantaranya adalah mata kuliah Software Engineering (Rekayasa Perangkat Lunak), Algoritma dan Bahasa Pemrograman (Algorithm and Programming Language), dan Basis Data (Database). Kebanyakan mata kuliah tersebut diajarkan setelah semester 5 (tingkat 3 atau 4). Dalam interaksi belajar mengajar di kelas, saya menemukan beberapa fenomena menarik berhubungan pengetahuan mahasiswa dan kurikulum yang diajarkan di universitas.
Saya menemukan tipe mahasiswa yang ketika saya terangkan dia kesulitan menangkap beberapa konsep yang seharusnya sudah dia dapat di semester sebelumnya. Katanya, itu tidak diajarkan di universitas tersebut. Fenomena ini terjadi dalam universitas yang memotong (mengubah) beberapa kurikulum yang seharusnya diajarkan, karena tidak ada SDM pengajar (dosen). Di lain pihak, saya menemukan fenomena lain dimana mahasiswa mengatakan bahwa dia mengenal beberapa konsep yang saya singgung, hanya dia lupa mata kuliah yang mengajarkannya. Fenomena ini terjadi di universitas yang mencekoki mahasiswanya dengan mata kuliah berlebih, dengan argumentasi bahwa supaya mahasiswa mendapat pengetahuan secara lengkap. Sering dosen mengajar bukan pada bidang yang dikuasai, hal itu terpaksa dilakukan oleh universitas untuk mengejar mata kuliah yang harus jalan. Dua-duanya ternyata membuat mahasiswa jadi linglung, yang satu linglung karena memang tidak pernah diajarkan, dan yang lain linglung karena terlalu banyak yang diajarkan. Intinya sih kedua-duanya sama-sama nggak ngerti.
Fenomena aneh lain tentunya masih banyak, misalnya mahasiswa tingkat 3 jurusan teknik informatika (atau ilmu komputer) yang tidak kenal siapa Dennis Ritchie, tidak bisa membuat program meskipun hanya untuk sebuah fungsi untuk memunculkan Hello World (apalagi mengkompilenya), tidak paham tentang paradigma pemrograman, juga tidak paham apa itu kompiler, shell, pointer, fungsi, array, dan tentu semakin mual-mual kalau saya sebut algoritma atau struktur data.
Bagaimana seorang mahasiswa Ilmu Komputer belajar? Saya mencoba memberi gambaran umum dengan mengambil studi kasus bagaimana jurusan ilmu komputer di Saitama University mengatur kurikulumnya. Saitama University bukan termasuk universitas yang terbaik untuk ilmu komputer, umurnya masih sangat muda dengan SDM pengajar (professor) yang juga terbatas, bahkan beberapa professor diambil dari jurusan elektro untuk beberapa mata kuliah tertentu. Ini tidak mengurangi keseriusan universitas untuk menyajikan pendidikan dan kurikulum terbaik untuk mahasiswa-mahasiswanya.
Saya mulai program undergraduate (S1) di Department of Information and Computer Sciences, Saitama Univesity tahun 1995. Tingkat I (semester 1 dan 2), mata kuliah dasar (kiso kamoku) sangat dominan. Kalkulus, statistik, probabilitas, fisika dasar, kimia dasar, discrete mathematics, dan mata kuliah dasar lain banyak diajarkan. Semester 2 sudah ada beberapa mata kuliah jurusan (senmon kamoku) yang diajarkan, diantaranya adalah bahasa pemrograman, bahasa C (prosedural), HTML, dengan praktek lab untuk mengenal Unix, shell, text editor (emacs), laTeX (TeX), gnuplot, kompiler, teknik typing 10 jari, dsb. Pada saat masuk tingkat II (semester 3), saya menyadari bahwa mata kuliah tingkat I membekali saya dengan beberapa tool dan konsep dasar, sehingga saya bisa survive mengikuti proses belajar mengajar di tingkat selanjutnya. Lab komputer hanya berisi Unix terminal. Seluruh laporan dan tugas harus ditulis dengan laTeX dengan text editor emacs, apabila memerlukan bahasa pemrograman harus dibuat dalam bahasa C dan dikompilasi dengan GCC. Apabila ada data yang harus ditampilkan dalam bentuk grafik, bisa menggunakan Gnuplot. Setiap mahasiswa harus mempunyai situs web (homepage), dimana selain berisi aktifitas pribadi, juga berisi seluruh laporan dan tugas yang dikerjakan. Selain lewat situs web, laporan harus dikirim dengan menggunakan email ke professor pengajar, dalam format PS atau PDF dengan source dari laTeX.
Yang menarik, bahwa gaya pendidikan yang ditempuh menganut konsep korelasi, berhubungan, saling mendukung dan terarah dari semester 1 sampai akhir. Skill terhadap komputer dan bahasa pemrograman juga cukup dalam, karena ada kewajiban menguasai bahasa C, HTML, Unix, Linux, Shell, dsb yang bukan untuk ritualitas mata kuliah semata, tapi untuk bekal sang mahasiswa supaya bisa survive di jenjang semester berikutnya. Apakah tidak diajarkan paradigma dan bahasa pemrograman lain? jawabannya adalah diajarkan, tetapi untuk konsumsi mahasiswa tingkat 3 (semester 5 dan 6). Pemrograman berorientasi objek (Java), functional programming (LISP dan Scheme), dan Prolog diajarkan pada semester 5 dan 6 untuk membidik supaya sang murid “nyantol” ketika mengikuti mata kuliah Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence) dan Rekayasa Perangkat Lunak (Software Engineering). Dan dengan sebelumnya menguasai bahasa prosedural seperti C, kita semakin “ngeh” tentang pentingnya paradigma berorientasi objek ketika mendalami mata kuliah tentang pemrograman berorientasi objek.
Korelasi mata kuliah ini nampak juga dari deretan gaya pengajaran, setelah mahir berbahasa C, kita diminta ngoprek Minix yang terbuat dari bahasa C (sistem operasi buatan Andrew S. Tanenbaum, yang menginspirasi Linus Torvald membuat Linux) pada mata kuliah Operating System (Sistem Operasi), membuat sendiri shell (dengan fungsi yang mendekati bash dan cshell) diatas sistem operasi yang sudah kita oprek, dan diminta mendesain dan mengembangkan bahasa pemrograman sendiri di mata kuliah Compiler Engineering (teknik kompilasi). Berurutan, berhubungan, tetap fokus dan mendalam, itu mungkin resep desain kurikulum yang diajarkan.
Pada saat tingkat 2 dan 3 itulah sang mahasiswa diarahkan untuk menuju arah kompetensi sesuai dengan yang diinginkan. Dan yang pasti, hampir seluruh mahasiswa mendapatkan “bekal” dan “skill” yang relatif sepadan untuk bergerak. Mahasiswa yang ingin melanjutkan karier menjadi seorang Programmer, disiapkan mata kuliah Struktur Data, Algorithm, Programming Language, Compiler Engineering, Automaton dan Formal Language. Yang ingin jadi Software Engineer, harus fokus mengikuti mata kuliah Software Engineering, Industrial Software Engineering, System Development Engineering, Software Project Management, dsb. Yang ingin berkarier di perusahaan animasi dan grafis, harus serius mengikuti mata kuliah Computer Graphics, Image Processing, CAD Enginering, Pattern Recognition, dsb. Yang siap bergelut di perusahaan Telekomunikasi, harus melahap mata kuliah Information Theory, Communication System, Signal Processing, Speech Processing, dsb. Yang ingin ke arah Hardware, harus menguasai mata kuliah Electronic Circuits, Electronic Devices, Computer Architecture, Quantum Mechanics, Logic Circuits, dsb. Bagaimana dengan yang tertarik dengan Kecerdasan Buatan? harus mau berpusing-pusing ria di mata kuliah Artificial Intelligence, Expert System, Knowledge Engineering, Neural Network, dsb.
Rencana pengembangan karier ini semakin matang dan tertata ketika masuk ke tingkat 4, seluruh mahasiswa harus menjalani 1 tahun terakhir di grup penelitian yang dipimpin oleh seorang professor. Penelitian dan thesis (tugas akhir) sifatnya wajib dilakukan, untuk memperdalam dan memahami implementasi riil dari bidang ilmu peminatan yang direncanakan dan dicita-citakan sang mahasiswa. Apa itu bidang ilmu peminatan? Ya bidang yang sudah saya sebut diatas tadi. Programming, Software Engineering, Communication System, Computer Graphics, Artificial Intelligence, Computer Hardware, Networking, dsb. Masing-masing professor dengan grup penelitian biasanya fokus di satu atau dua bidang ilmu peminatan, termasuk didalamnya penelitian yang dilakukan dan mata kuliah yang diajar. Tidak ada seorang professor Software Engineering yang mendapat jatah mengajar mata kuliah Computer Graphics, karena memang bukan bidangnya. Kalaupun bisa memberikan, tentu tidak menguasai the root problem (akar permasalahan) yang ada di bidang tersebut, ini yang membuat mata kuliah jadi hambar, tidak mendalam dan mahasiswa jadi bingung memahami apa hakekat dari mata kuliah tersebut.
Jadi masing-masing mata kuliah ada arah, ada desain yang ingin dicapai, dan ini yang dijelaskan di awal perkuliahan. Tidak ada kegiatan OSPEK yang berisi penyiksaan dan penghinaan, tidak ada hura-hura pesta masuk perguruan tinggi, yang ada adalah penjelasan tentang kurikulum secara komprehensif. Sang mahasiswa ingin menjadi apa, tertarik di bidang apa, itu yang dibidik dan diarahkan oleh universitas dengan penjelasan desain kurikulum beserta dengan mata kuliah apa yang sebaiknya diambil oleh sang mahasiswa. Jumlah kredit untuk syarat kelulusan S1 juga tidak sepadat Indonesia, hanya sekitar 118, sudah termasuk didalamnya penelitian dan tugas akhir yang dihitung sekitar 10-12 kredit. Jadi total kredit dari mata kuliah hanya sekitar 106. Kelonggaran waktu yang ada dapat kita gunakan untuk kerja parttime di perusahaan-perusahaan IT, mengasah kemampuan jadi programmer, network engineer, admin, software designer, dsb. Mahasiswa mendapatkan konsep di kelas, dan mematangkan diri di lapangan, tempat kita menggarap project maupun tempat kerja. Itu adalah strategi penting dalam mengkader para computer scientist.
Universitas di Indonesia yang membuka fakultas/jurusan Ilmu Komputer dan Teknik Informatika harus berbenah. Tidak hanya berambisi mengejar jumlah murid karena aji mumpung (mumpung TI sedang booming, terima mahasiswa sebanyak banyaknya), tapi juga harus bertanggungjawab terhadap figur dan karakter hasil didikan dan lulusan universitasnya. Untuk para calon mahasiswa, pilihlah Universitas yang memiliki kurikulum dan dosen pengajar yang baik. Jangan memilih jurusan karena trend, ikut-ikutan teman, atau alasan tidak logis lainnya. Pilihlah karena memang kita berminat untuk berkarier di bidang tersebut.

Mendiknas Prof.Bambang Sudibyo : PEMERINTAH AKAN MENETAPKAN RAMBU-RAMBU KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI

19 April 2006
Akhir-akhir ini di ‘wacana’ kan oleh media tentang akan keluarnya kurikulum 2006. Wacana itu keliru. Pemerintah belum pernah mengatakan akan menetapkan kurikulum 2006. Juga tentang kurikulum 2004, kurikulum 2004 itu hanyalah kurikulum eksperimen yang diterapkan secara terbatas di sejumlah sekolah, untuk eksperimen kurikulum berbasis kompetensi. Yang benar, Pemerintah pada tahun ini (2006) akan menetapkan Rambu-rambu Kurikulum Berbasis Kompetensi.
Menjawab pertanyaan Kantorberita Indonesia “GEMARI” (KBI GEMARI) di sela kegiatan Peresmian Proyek Infrastruktur Nasional dalam rangka Peringatan Hari Air Se Dunia dan Pencanangan Pekan Imunisasi Nasional (PIN) Putaran V oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono di Pacitan 12 April 2006, Menteri Pendidikan Nasional, Prof. Bambang Sudibyo selanjutnya berkata bahwa rambu-rambu kurikulum itu rambu-rambu kurikulum berbasis kompetensi. “Mengapa kurikulum berbasis kompetensi karena memang sudah ditetapkan dalam undang-undang”. tegas Mendiknas. Sedang yang menyusun kurikulum adalah sekolah. Sekolah menyusun kurikulum-nya sendiri-sendiri. Sedang rambu-rambu pada tingkat Undang-Undang Sisdiknas mengatur secara garis besar tentang kurikulum. Itu harus dipatuhi, tegas menteri.
Kemudian, tambah Mendiknas, Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, juga memberikan rambu-rambu tambahan untuk penyusunan kurikulum. Ini bukan kurikulum tetapi rambu-rambu kurikulum. ucapnya tegas.

Dalam waktu dekat akan keluar 2 (dua) Peraturan Mendiknas yaitu : Permendiknas tentang Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Isi. Dengan demikian ada tiga tingkatan rambu-rambu yaitu: Tingkat Undang-Undang; Tingkat Peraturan Pemerintah yang ditanda tangani Presiden RI; dan Tingkat Permendiknas yang ditanda tangani Menteri Pendidikan Nasional. Jadi sekolah menyusun kurikulum sendiri-sendiri tanpa keluar dari ketiga tingkatan rambu-rambu tersebut.
Mendiknas menyadari akan ada sekolah-sekolah yang ketika diberi kebebasan lebih besar untuk mengatur kurikulumnya sendiri tidak mampu menggunakan kebebasannya itu. Untuk itu Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) akan menerbitkan Panduan Penyusunan Kurikulum. Dalam Panduan Penyusunan Kurikulum tersebut juga akan diberikan suatu Model Kurikulum untuk SD, SMP, SMA, SMK. “Untuk sekolah atau madrasah yang tidak percaya diri untuk menyusun kurikulumnya sendiri, nereka bisa adopsi. Ambil saja model itu, pasti akan ada didalam rambu-rambu, karena yang menyusun Badan Standar Nasional Pendidikan” jelas Mendiknas.
Menjawab KBI Gemari tentang contoh rambu-rambu yang akan diterapkan, Mendiknas Prof.Bambang Sudibyo menyebutkan dalam Undang-Undang Pendidikan beberapa mata-pelajaran disebutkan dan harus ada seperti Pelajaran Agama dan Pelajaran Akhlak Mulya. Rambu-rambu dalam PP SMP antara lain disebutkan tentang Tujuan Pendidikan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi itu apa, tujuannya untuk apa.
Dalam PP juga menjelaskan tentang bagaimana penilaian pendidikan untuk 5 (lima) Kelompok Mata Pelajaran (Kelompok Pelajaran Agama dan Akhlak Mulya, Kelompok Mata Pelajaran Iptek, Kelompok Mata Pelajaran Estetika, Kelompok Mata Pelajaran Olah Raga). Masing-masing kelompok pelajaran tersebut cara penilaiannya berbeda dan harus diikuti. Meski sebenarnya dalam rambu-rambu yang telah ditetapkan sekolah memiliki kebebasan. “Yang belum mampu menggunakan kebebasannya gunakan saja model. Atau ambil saja model itu kemudian direvisi sedikit-sedikit secara bertahap, sesuai potensi dan kondisi di lingkungan masing-masing tanpa keluar dari rambu-rambu,” saran Prof.Bambang Sudibyo.
Ditanya tentang Sekolah Berbasis Unggulan Local, Mendiknas menjelaskan untuk tingkat perguruan tinggi sudah lama menerapkan prinsip tersebut yang dikenal Otonomi Perguruan Tinggi. Sekarang otonomi juga diberikan kepada sekolah atau madrasah yang disebut Manajemen Berbasis Sekolah atau Manajemen Berbasis Madrasah. Maka kebijakan pemerintah dalam kurikulum menerapkan Kurikulum Berbasis Kompetensi dan Manajemen Berbasis Sekolah. Dengan Manajemen Berbasis Sekolah maka yang menyusun dan menentukan kurikulkum sekolah sendiri. Pemerintah hanya menetapkan rambu-rambunya saja. Ucap menteri berulang kali sembari menegaskan “sesuai dengan iklim otonomi maupun iklim demokrasi yang berkembang di dunia politik, di sekolah pun dilakukan desentralisasi dan otonomi.” (Wasis Widhiyasa ST/H.Nur).

Keterbatasan Kurikulum IPTEK Sekolah di Indonesia
Tadinya saya mau membuat artikel ini dengan judul “Kemunduran IPTEK Sekolah”. Tetapi mengingat banyak juga tuh yang maju, saya ganti saja menjadi keterbatasan kurikulum iptek sekolah di Indonesia. Dan tadinya juga mau pakai bahasa yang sopan dan terstruktur, tetapi karena bahasannya tidak perlu juga, kita ambil santai lah.
Bagaimana tidak? Sekarang kita ngomong di seputar sekolah saya dulu, di bawah Yayasan BPK PENABUR. Ketika saya duduk di bangku SD, di pelajaran komputer, yang saya pelajari adalah: Fanta Vision (Program animasi DOS), LogoWriter (program gak jelas di DOS), Paint. Tentu saja masih ada lagi. Untuk apa belajar kedua program pertama? Toh tidak dipakai? Paint, mengapa baru kelas 3SD (CMIIW)? Mengapa tidak mulai dari TK (Taman Kanak-Kanak), usia di mana anak-anak mulai dapat berkreasi?
Sekarang saya sudah SMP, mau masuk SMA. Pelajaran saya di kelas 7? Dasar-dasar pengoperasian Windows! Sudah pernah di SD, meskipun harusnya dari TK. Lalu di kelas 9 juga kita mengulangi dasar-dasar pengoperasian sistem operasi, bedanya sekarang kita belajar dengan Mandriva Linux (Jadi ingat, ketika IHSC 2008, pembicara Irvan berkata begini: “Linux pada dasarnya jelek. Tetapi Windows, lebih jelek lagi.” Diikuti tawa seluruh peserta karena setuju). Memang ada apa sih? Harus belajar lagi dasar-dasarnya. Kita kan sudah belajar mengoperasikan Windows. Sekarang Linux sudah punya GUI. Apalagi Mandrake memakai KDE, yang (katanya) GUI yang paling user-friendly.
Kelas 7 kita berputar seputar Microsoft Word, Excel, dan Powerpoint. Bukankah harusnya ini sejak SD saja? SD memang diajarkan memakai Word, tapi dasar saja. Dan Photoshop. Boleh lah SMP baru diajarkan. Dan di kelas 9, saya baca modulnya ada diajarkan memakai OpenOffice.org. Untuk apa pula?
Kelas 8 saya diajarkan HTML. Boleh lah baru kelas 8. Tetapi, guru-guru saya mengajarkan HTML yang tidak standar. Misalnya, tanpa DOCTYPE, huruf besar untuk tags. Dan mengajarkan tags dan attributes yang sudah tidak standar lagi.


0 komentar: