Manajemen sarana dan prasarana

>> Rabu, 18 Maret 2009

Pembiayaan Pendidikan Perlu Diatur Lebih Tegas
Rabu, 5 Maret 2008 | 20:39 WIB
JAKARTA, RABU - Pembiayaan pendidikan masih harus diatur lebih tegas lagi. Terutama dengan adanya istilah pendidikan gratis yang kian mencuat, terutama dalam kampanye-kampanye pemilihan pejabat.
Hal ini terungkap dalam diskusi publik bertajuk Membedah Persfektif Pembiayaan Pendidikan, Rabu (5/3). Salah satu pembicara, pengamat pendidikan sekaligus Sekretaris Jenderal Dewan Pendidikan DKI Jakarta, Agus Suradika mengungkapkan, terdapat kesenjangan yang lebar terhadap pemaknaan "pendidikan gratis." Masyarakat mempersepsi pendidikan gratis sebagai gratis untuk semua keperluan pendidikan mulai dari SPP, buku, tas, pakaian, bahkan ongkos ke sekolah.
Pemerintah sendiri tidak mendefinisikan dengan jelas makna dari pendidikan gratis. Pemerintah pusat mengimplementasikannya dalam bentuk BOS atau Bantuan Operasional Sekolah. Sedangkan, pemerintah daerah seperti di DKI Jakarta melaksanakannya dalam bentuk BOP atau Biaya Operasional Pendidikan. Pendidikan gratis di DKI Jakarta diterjemahkan sebagai BOS ditambah BOP, tanpa dirinci biaya dan bantuan itu untuk pembiayaan apa saja.
Agus Suradika mengatakan, sebetulnya jika pemerintah mewajibkan warga negara untuk belajar melalui program wajib belajar pendidikan dasar, berarti pendidikan merupakan barang publik. Dengan diposisikan sebagai barang publik, pemerintah berwenang untuk mengatur. Namun, agar memiliki kekuatan memaksa, pemerintah sudah seharusnya menanggung bagian terbesar dari dana pendidikan.



















Dana Pendidikan Mengalahkan Anggaran PU
dprdkutaikartanegara.go.id - 19/12/2006 14:25 WITA
BILA betul anggaran pelaksanaan pendidikan bagi rakyat Kutai Kartanegara 20 persen dari APBD 2007, kemudian anggaran itu tidak “ditelikungi” artinya murni untuk pendidikan. Dapat dipastikan kualitas maupun mutu pendidikan di daerah ini bakalan maju selangkah. Apalagi anggaran pendidikan itu jauh lebih besar dari anggaran Dinas Pekerjaan Umum (PU).

Dalam anggaran 2007, biaya pendidikan di Kukar diplot sangat tinggi, bahkan mengalahkan anggaran Dinas Pekerjaan Umum (PU). Panitia Anggaran (Panggar) DPRD setempat sudah mengalokasikan dana pendidikan sebesar 20 persen dari APBD. Namun plot anggaran 20 persen itu termasuk pembiayaan sejumlah dinas teknis untuk membangun maupun merehab gedung sekolah dari tingkatan SD sampai SLTA, salah satu di antara dinas teknis itu adalah Dinas PU Kukar.

Mengapa Dinas PU termasuk dalam anggaran pendidikan, karena instansi teknis inilah yang nantinya bergerak melakukan realisasi perbaikan gedung-gedung atau bangunan sekolah yang rusak. Sebagaimana data yang dikeluarkan Dinas Pendidikan (Disdik) Kukar, di daerah ini terdapat sekitar 425 ruang belajar yang harus diperbaiki. Kendati melibatkan dinas teknis, Panggar DPRD tetap mengalokasikan anggaran pendidikan yang nantinya dikelola oleh Disdik jauh lebih besar dibanding anggaran untuk Dinas PU.

Sebagaimana diungkapkan Ketua DPRD Kukar H Bachtiar Effendi, besaran anggaran pendidikan yang sudah masuk dalam pendataan Panggar sebesar Rp594 miliar lebih. Sedangkan untuk dinas teknis PU hanya Rp75 miliar atau 4 persen dari APBD.

“Untuk ketepatan pemanfaatan anggaran pendidikan itu, Disdik diminta sesegera mungkin memberikan persentasikan atau rincian kebutuhan pembiayaan pendidikan secara umum kepada DPRD,” kata Bachtiar kepada wartawan di Tenggarong baru-baru ini.

Pembiayaan pendidikan secara umum tersebut, tentunya tidak termasuk pembiayaan gaji guru dan pembiayaan kedinasan untuk lingkungan Disdik. Karena untuk pembayaran gaji sudah diplot melalui anggaran di luar dari 20 persen dana pendidikan.

Sementara itu, Saiful Aduar, yanbg juga anggota panitia anggaran DPRD, merincikan anggaran pendidikan 20 persen yang tersebar di sejumlah instansi teknis tersebut, untuk Dinas PU 2 persen atau Rp75 miliar, kemudian untuk Dinas Pendidikan Luar Sekolah (Dikluspora) 0,3 persen setara Rp10,4 miliar, selanjutnya Bagian Kesejahteraan Masyarakat (Kesra) Rp16,2 miliar atau 0,4 persen. Sedangkan alokasi untuk Gerbang Dayaku 1 persen atau Rp33 miliar. Untuk Disdik sendiri Rp594 miliar sama dengan 16 persen.

Dengan begitu total anggaran tersebut Rp729,7 miliar atau setara 19,5 persen. Untuk melengkapi 20 persen, saat ini Disdik tengah menyusun persentasi akan kebutuhan pembiayaan pendidikan, termasuk mengeventarisir sejumlah pelaksanaan pendidikan lainnya di luar dari pembiayaan kedinasan lebih-lebih yang berkaitan dengan gaji guru yang sudah tersedia dalam Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) hingga 2006. Konon mulai 2007, gaji bagi semua PNS dibebankan pada APBD daerah setempat. Hal ini masih dalam tahap persiapan, termasuk soal perdanya.

Sementara itu, masyarakat berharap dengan besarnya dana yang akan diperoleh oleh Disdik itu, hendaknya pada 2007 sampai seterusnya tidak ditemukan lagi sekolah rusak atau fasilitas pendidikan, seperti gedung sekolah, meja kursi yang tidak layak pakai lagi. Begitu juga diminta kualitas pendidikan di daerah ini tidak berada pada urutan terbawah dibanding 13 kabupaten/kota yang ada di Kaltim. Paling tidak dari tahun ke tahun kualitas pendidikan bisa dientaskan.

“Mendapatkan dana besar, tentunya pendidikan di daerah ini bisa ditingkatkan pula, terutama kualitasnya,” kata Dharmawati selaku warga Kukar.

Harapan yang sama juga diungkapkan Saiful Aduar yang sangat peduli dengan dunia pendidikan. “Sampai saat ini, kualitas pendidikan di Kukar masih jauh tertinggal. Memang untuk meningkatkan kualitas pendidikan tidak semudah membalik telapak tangan, tetapi setidaknya dari tahun ke tahun jalannya tidak stagnan,” ujar Saiful, berharap. (gu2n/kon)





















Digagas, Raperda Pembiayaan Pendidikan
• Untuk Mengawal Anggaran 20%
SEMARANG - Komisi E DPRD Jawa Tengah memandang perlu adanya peraturan daerah (perda) yang mengatur tentang pembiayaan pendidikan. Peraturan itu dinilai penting agar pengalokasian dan pelaksanaan anggaran pendidikan 20% dari APBD berjalan sebagaimana mestinya.
''Kami pikir langkah itu perlu diambil agar terjadi konsistensi dalam penganggaran di bidang pendidikan,'' kata Thontowi Jauhari, Sekretaris Komisi E DPRD Jateng, Minggu (3/12).
Menurut dia, usulan adanya perda yang mengatur pembiayaan pendidikan itu muncul, salah satunya karena langkah Pemprov Jateng yang terlalu jauh ''mengambilalih'' urusan anggaran pendidikan. Misalnya, pada RAPBD 2007 sebagian besar anggaran justru dikelola oleh Sekretariat Daerah (Setda), sedangkan yang dikelola Dinas Pendidikan dan Kebudayaan jumlahnya kalah banyak. Padahal yang bersentuhan langsung dengan urusan pendidikan adalah dinas yang bersangkutan.
Dengan perda itu kelak bisa diatur besar anggaran yang masuk atau dialokasikan untuk pendidikan formal dan informal. ''Dalam perda itu anggaran untuk keduanya diatur untuk apa saja. Tidak seperti sekarang, semua anggaran masuk ke Sekretariat Daerah,'' katanya.
Dia mencontohkan, anggaran insentif untuk guru swasta berada di rekening setda, anggaran insentif untuk SD/MI juga masuk ke rekening Setda, padahal dahulu berada di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan.
''Belum lagi dana yang masuk ke Dewan Pendidikan, juga mengalir lewat pos Setda,'' imbuh politikus dari Partai Amanat Nasional (PAN) itu.
Komisi E, lanjutnya, juga perlu masukan dari masyarakat, pengamat, dan praktisi pendidikan mengenai gagasan tersebut yang kemudian digabungkan dengan gagasan para anggota komisi yang membidangi kesejahteraan rakyat itu. Gubernur juga diharapkan menyampaikan konsep Raperda Pembiayaan Pendidikan itu. Selanjutnya, disandingkan dengan rancana legislatif. Hasilnya, diharapkan menjadi sebuah peraturan daerah yang mampu memayungi anggaran pendidikan di Jateng.
''Apabila peraturan daerah itu terealisasi, akan menjadi salah satu peninggalan Gubernur Mardiyanto setelah tidak menjabat lagi,'' ucap dia.
Anggota Komisi E DPRD Jateng, Masruhan Samsurie, mengatakan, alokasi anggaran pendidikan yang lebih banyak ditempatkan di Setda, dikhawatirkan akan menghambat pelayanan publik di bidang tersebut. Selama ini telah diketahui, urusan birokrasi di tubuh eksekutif dinilai terlalu rumit dan bertele-tele.
Gubernur Mardiyanto dalam penjelasannya belum lama ini menyatakan tidak ada masalah dana pendidikan.
Sebagian besar ditempatkan di pos Setda. Anggaran pendidikan tidak harus semuanya dikelola Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, seperti anggaran untuk pendidikan di luar sekolah. (G17,H7-41n)








































PENDIDIKAN DASAR GRATIS : SEBUAH TONGGAK SEJARAH
May 12th, 2005 Oleh: Satria Dharma
Hari Jum’at ini, 13 Mei 2005, jajaran aparat pemerintah Kota Balikpapan, eksekutif maupun legislatifnya akan berangkat studi banding ke Kabupaten Jembrana di Bali untuk mempelajari bagaimana kabupaten kecil dengan penduduk sekitar 251.164 orang (2003) dan APBD sebesar 232 Milyar dan PAD hanya 9,5 M mampu melakukan terobosan bersejarah dengan menggratiskan biaya pendidikan bagi semua pelajarnya sejak tingkat SD s/d SLTA.
Mengapa studi banding ini penting? Karena jika Balikpapan mampu belajar sehingga mampu melaksanakan hal yang sama yaitu membebaskan biaya penddikan bagi siswanya, dan semestinya memang bisa mengingat betapa besarnya potensi kota ini, maka hal tersebut akan menjadi tonggak bersejarah bagi nasib bangsa kita khususnya bagi penduduk Balikpapan.
Tonggak sejarah terpenting dalam mengubah nasib bangsa di masa depan sebenarnya telah dilakukan oleh wakil-wakil rakyat kita di MPR yang dengan gagah berani menetapkan 20 % APBN dan APBD untuk anggaran sektor pendidikan dengan memasukkan amandemen pasal 31 Ayat (3) UUD 1945. Seperti yang dinyatakan oleh Ace Suryadi Ph.D Staf Ahli Mendiknas, keputusan politik tersebut sangat monumental sehubungan dengan tantangan bangsa Indonesia dalam menghadapi persaingan di era tanpa batas ini.
Meski semua sepakat bahwa bahwa sumber daya manusia (SDM) yang berkualitaslah yang diperlukan untuk bersaing dengan negara-negara lain dalam berbagai bidang, khususnya ilmu pengetahuan dan teknologi, Namun, masih banyak kalangan yang belum ‘sreg’ dengan isi perubahan Pasal 31 Ayat (3) UUD 1945 tersebut. Alasannya, banyak sektor lain yang juga memerlukan anggaran yang juga besar, khususnya pengembangan ekonomi rakyat.
Amanah undang-undang yang menetapkan anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBN dan APBD memiliki orientasi yang sangat jelas, yaitu untuk meningkatkan daya saing bangsa yang semakin lama semakin terpuruk. Namun, amanat ini memang tidak mudah direalisasikan karena sebagian besar komponen dana dalam struktur APBN kita yaitu 34 persen telah dialokasikan untuk pembayaran utang luar negeri kita dan 25 persen untuk dana perimbangan. Kondisi ini memang tidak mudah bagi pemerintah karena pembagian “kue APBN” pada dasarnya adalah zero-sum, naiknya anggaran pendidikan harus dipahami mengandung risiko berkurangnya “pembagian kue” untuk sektor lain.
Tapi itu adalah gambaran nasional. Dalam level propinsi, maupun kota dan kabupaten, Propinsi Kaltim dan semua kabupaten dan kotanya, sebagai propinsi terkaya di Indonesia, sebetulnya mampu untuk mewujudkan cita-cta bangsa tersebut. Kebijakan otonomi daerah sebenarnya telah memberikan kewenangan yang begitu besar bagi setiap kepala daerah untuk mewujudkan cita-cita bangsa tersebut bagi penduduk daerah masing-masing. Dan itulah yang dilakukan oleh Prof DR Drg I Gde Winasa, Bupati Jembrana dengan mewujudkan pembebasan biaya pendidikan bagi penduduknya, disamping biaya rumah sakit gratis, KTP gratis, asuransi kecelakaan gratis, pembebasan PBB pertanian, dll demi kesejahteraan penduduknya.
Menurut Ace, anggaran pendidikan adalah sarana ampuh untuk perwujudan kemakmuran bangsa di masa depan. Untuk itu, anggaran pendidikan haruslah dijadikan sebagai ideologi masa depan. Sebagai ideologi masa depan, orientasi anggaran pendidikan merupakan sarana ampuh untuk perwujudan keadilan dan pemerataan kesempatan pendidikan dalam era otonomi daerah. Untuk itu dibutuhkan sistem pembiayaan yang demokratis dan berkeadilan dimana setiap orang harus memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan, paling rendah pendidikan dasar. Oleh karena itu, penuntasan wajib belajar pendidikan dasar merupakan prasyarat mutlak untuk dapat membangun sistem pendidikan yang bermutu ke depan.
Subsidi silang melalui variasi besarnya Sumbangan Pembiayaan Pendidikan (SPP) serta pemberian beasiswa untuk siswa-siswa yang kurang mampu yang selama ini dijalankan mempunyai kelemahan yang sangat mendasar yaitu adanya kesulitan struktural dalam mengukur tingkat kemiskinan keluarga siswa sebagai dasar untuk menentukan besarnya SPP, serta menerima beasiswa yang paling tepat. Berapa penghasilan keluarga yang bisa disebut ‘miskin’ dan apa patokannya? Bagaimana menentukan level subsidi bagi setiap orang tua yang dianggap ‘tidak miskin’ dan bagaimana mekanisme untuk memungutnya di level sekolah? Bagaimana sekolah mempertanggungjawabkan subsidi yang diperolehnya dari orang tua? Dll. Pada beberapa negara, subsidi silang melalui mekanisme ini tidak dianggap sebagai kebijakan yang penting dan telah mulai ditinggalkan. Mekanisme yang dilakukan oleh negara-negara maju, dan sekarang diadopsi oleh hampir semua negara, adalah dengan mewujudkan kesempatan pendidikan dasar yang merata dan adil yang dilakukan melalui kebijaksanaan pendidikan dasar yang bebas biaya (free basic education). Hal ini sebenarnya juga telah kita adopsi seperti yang dikehendaki oleh perubahan Pasal 34 Ayat (2) UUD 45 yang menyatakan “Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.”.
Di negara maju, “Bebas biaya” sebetulnya tidaklah hanya semata-mata pembebasan SPP (tuition free), tetapi pembebasan pada hampir seluruh komponen biaya pendidikan yang mencakup SPP, buku dan alat, makan siang, bahkan antar-jemput. Orangtua dibebaskan dari segala biaya pendidikan dalam arti yang secara langsung dibayarkan ke sekolah (direct payment), tetapi pembiayaan pendidikan tersebut dibebankan melalui pajak. Hal ini sebenarnya dapat dilakukan oleh pemerintah pusat maupun daerah, misalnya, melalui Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) atau pajak khusus untuk pendidikan. Melalui mekanisme ini Indonesia dapat menjadikan “sekolah gratis” dan pajak pendidikan dalam mewujudkan kesempatan pendidikan yang merata dan adil. Mekanisme pajak untuk pendidikan ini penting karena pelaksanaan Pasal 31 Ayat (3) dan Ayat (4) UUD 1945 belum akan berwujud kenyataan mengingat permasalahan struktur anggaran tadi.
Menurut Ace, mekanisme pajak yang menganut prinsip “semua anak pada dasarnya adalah anak dari semua orangtua” jauh lebih menguntungkan dibandingkan strategi memvariasikan besarnya SPP dan beasiswa, karena semua keluarga merasa bertanggung jawab untuk ikut serta membiayai pendidikan. Melalui mekanisme pajak dapat dikumpulkan dana yang lebih besar, karena basis pembayar pajak lebih luas daripada basis pembayar SPP. Sapto Sakti dari Sampoerna Foundation menginformasikan bahwa 2% keuntungan dari perusahaan-perusahaan besar macam Telkom, Gudang Garam, Sampoerna, Astra, dll saja sebenarnya bisa mencapai 160 M setahun. Suatu jumlah yang lebih dari cukup untuk membiayai anggaran pendidikan kita. Kaltim yang memiliki begitu banyak perusahaan besar tentunya akan dapat mengumpulkan dana pendidikan yang cukup besar untuk membiayai pendidikannya. Dalam hubungannya dengan pajak, alokasi dana perimbangan, khususnya Dana Alokasi Umum (DAU), untuk sektor pendidikan ditentukan oleh kemampuan daerah dari sektor pajak (untuk) pendidikan tersebut. Melalui mekanisme pajak, maka anggaran riil pendidikan bisa melonjak hampir dua kali lipat.
Menurut Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (BPS, 1996), besarnya biaya pendidikan saat ini terdiri dari dana yang bersumber dari keluarga murid (45 persen) dan dari sumber APBN (55 persen). Namun, dana dari sumber orangtua siswa yang dibayarkan langsung ke sekolah adalah dana “siluman” yang rawan penyimpangan karena tidak ada perangkat kontrol yang jelas. Saat ini dana yang dikutip sekolah dari orang tua mencapai angka milyaran rupiah dan tidak pernah dipertanggungjawabkan secara akuntabel dan jelas rawan korupsi. Padahal kita sadar bahwa korupsilah yang menyebabkan negara kita ini terus terpuruk meski resesi sudah berlalu lama. Jika orangtua murid membayar melalui mekanisme pajak, maka pengelolaannya akan semakin efisien karena perangkat kontrolnya jelas. Akuntabilitas dan efisiensi sebagai upaya untuk menghapus korupsi di sekolah adalah kunci utama untuk memperbaiki kondisi pendidikan kita. Inilah yang yang dilakukan oleh Kabupaten Jembrana dalam membebaskan biaya pendidikan bagi penduduknya. Dan inilah yang hendak dipelajari oleh Pemerintah Kota Balikpapan.

















Bantuan Operasional Sekolah Tidak Mendiskriminasikan Siswa
Ditulis oleh Reporter Billy Antoro, tanggal 27-02-2009
Jakarta (Mandikdasmen): Bantuan Operasional Sekolah merupakan upaya untuk membangun pendidikan nasional, yang diberikan kepada semua siswa yang terdaftar pada jenjang pendidikan dasar, baik negeri maupun swasta. “Ini merupakan reformasi dalam pembiayaan pendidikan,” kata Sekretaris Direktorat Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Dr. Bambang Indriyanto di hadapan para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara, Selasa (17/2/2009).

Para anggota DPRD Sumatera Utara yang berjumlah sembilan orang ini telah melakukan kunjungan kerja ke Departemen Pendidikan Nasional, , Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta.

Menurut Bambang, sebelum 2005 pembiayaan pendidikan, khusus untuk pendidikan dasar saja yang bertujuan untuk memperkuat aspek kelembagaan. Jadi, yang dibantu adalah pihak sekolah. Tapi, ternyata mekanisme ini tidak memenuhi asas demokratisasi dalam pelayanan pendidikan. Karena itu, pembiayaan pendidikan dirubah berdasarkan siswa. “Ke manapun siswa mendaftar, dia akan mendapat BOS. Jadi BOS tidak mendiskriminasi baik kaya maupun miskin,” ujar Bambang.

Dalam diskusi yang berlangsung dua jam ini, Usman Hasibuan, salah seorang anggota DPRD Sumut berpendapat bahwa banyak sekolah yang tidak membutuhkan dana BOS. “Sebab orangtua siswanya kebanyakan orang kaya,” ucap Usman.

menanggapi pendapat ini, menurut Bambang, sekolah swasta boleh saja menolak dana BOS, tetapi harus berani meringankan beban siswa. Karena, sebagaimana amanat Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, arah pendidikan nasional adalah gratis.

Salah persepsi

Bambang Indriyanto juga menyatakan bahwa saat ini banyak kesalahan persepsi sebagian masyarakat tentang alokasi 20% APBN untuk sektor pendidikan. “Yang beredar di masyarakat, anggaran pendidikan identik dengan anggaran Departemen Pendidikan Nasional,” tegasnya.

Padahal anggaran pendidikan juga diperuntukkan bagi lembaga/instansi yang melakukan fungsi pendidikan. “Semua lembaga negara yang menjalankan peran pendidikan mendapatkan anggaran itu,” jelas Bambang. Pada tahun 2009 ini, Depdiknas menerima anggaran dana Rp 62,098 triliun. Dari dana tersebut, Ditjen Mandikdasmen mengelola Rp 24,7 triliun.


0 komentar: